Secara teoritis dan konseptual putusan final mengandung makna bahwa putusan MK merupakan upaya yang pertama (the first resort) sekaligus upaya terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan. Apabila dikaitkan dalam konteks penegakan supremasi konstitusi, tentu tidak hanya berhenti pada dibatalkannya suatu norma undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, melainkan bagaimana putusan pembatalan itu kemudian dipatuhi dan dilaksanakan. Hal tersebut dikarenakan sifat putusan MK final. Namun demikian, dalam perkembangan ketatanegaraan akhir-akhir ini, kepatuhan (compliance) lembaga-lembaga negara dalam melaksanakan putusan MK menjadi persoalan karena terdapat indikasi adanya ketidakpatuhan untuk menindaklanjuti putusan MK yang bersifat final dan mengikat tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga kategori tingkat kepatuhan atas pelaksanaan putusan PUU MK periode 2013-2018 yaitu: dipatuhi seluruhnya; dipatuhi sebagian dan tidak dipatuhi. Hasil kajian penulis menunjukkan bahwa mayoritas putusan PUU MK dipatuhi seluruhnya yaitu sebanyak 59 putusan atau sebesar 54,12%. Namun demikian terdapat juga beberapa putusan yang tidak dipatuhi seluruhnya atau dengan kata lain hanya dipatuhi sebagian yaitu sebanyak 6 putusan atau sebesar 5,50%. Sedangkan untuk putusan yang tidak dipatuhi itu berjumlah 24 putusan atau sebesar 22,01%. Sisanya 20 putusan atau sebesar 18,34% belum bisa diidentifikasi tingkat kepatuhannya karena dua hal yaitu: 1) jangka waktu konstitusionalitas yang diberikan MK dalam amar putusannya belum terlampaui, artinya pembentuk UU masih ada waktu/kesempatan untuk menindaklanjutinya; 2) belum ada tindaklanjut sama sekali dari para adressat putusan baik secara normatif maupun praksisnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan atas putusan PUU MK periode 2013 – 2018 masih lebih tinggi daripada tingkat ketidakpatuhannya dengan perbandingan 54,12% berbanding 22,01%